Invictus (part 2): Big Word Called Hope

Gak bermaksud mengikuti tren part one-part two Harry Potter atau Breaking Dawn, tapi gw merasa perlu mengulas lebih dalam tentang sajak Invictus. Kata-kata dalam sajak ini mengusik pikiran gw saat pulang ke apartemen malam ini. Mungkin bentuk pengendapan setelah obrolan panjang dengan dua orang teman. Dua cerita di balik sajak ini sungguh menginspirasi gw.

 “I am the master of my fate, I am the captain of my soul.”

Oke, gw akan mengulang cerita singkat yang sebetulnya sudah pernah gw bagi di postingan berjudul Invictus. Cerita pertama adalah mengenai William Ernest Henley, seorang pujangga Inggris di akhir 1800an. Ia mengalami tuberculosis tulang pada usia 17 tahun yang menyebabkan ia harus kehilangan salah satu kakinya. Mengalami hal seburuk itu pada usia semuda itu sungguh membuat frustasi. Tentu hal yang pertama muncul dalam ingatannya adalah, betapa suram masa depannya? Bagaimana ia akan beraktivitas? Bagaimana ia akan menemukan istri dan berkeluarga?

William Ernest Henley (1849-1903)

Dalam kondisi seperti itu, wajar bila putus asa menghampiri dia. Lalu, ia kehilangan motivasi hidup dan bahkan berpikir untuk mengakhiri hidup. Itu pilihan yang sangat wajar. Namun, bila itu menjadi pilihan Henley, kita tidak akan pernah mengenal sajak ini. Dan sajak ini tidak akan mempengaruhi hidup orang lain, termasuk hidup seorang tokoh besar abad 20 seperti Nelson Mandela.

Mandela membaca puisi ini saat ia dikurung di sebuah sel kecil di Robben Island. Berapa lama? 18 tahun. Saat melihat kondisi sel penjaranya, gw berpikir, bagaimana seorang manusia bisa bertahan di tempat semacam itu selama 18 tahun. Seseorang yang punya mimpi besar membebaskan sebuah negara dari apartheid. Seorang yang punya mimpi sebesar itu dan harus membuang 18 tahun di sebuah sel kecil, dimana ia hanya boleh menerima satu pengunjung dan satu surat setiap enam bulan. Bagaimana kondisi semacam itu memungkinkan seorang manusia untuk tetap bertahan hidup, atau paling tidak, punya harapan?

Tapi, puisi itu menyelamatkan Mandela. Puisi yang ditulis oleh seorang Henley yang tahu tentang harapan, seseorang yang tahu bahwa hidup tanpa sebelah kaki adalah tetap sebuah hidup yang layak diperjuangkan dan dijalani. Mandela akhirnya tahu bahwa hidup di penjara selama 18 tahun tetap sebuah hidup yang layak dijalani demi tercapainya sebuah mimpi. Dalam film Invictus, diceritakan bagaimana Mandela memakai puisi itu untuk menyemangati tim rugby Afrika Selatan di Piala Dunia 1995.

Puisi Henley ini terus menyentuh hidup orang, termasuk gw. Looking back into my life, hidup gw bukan tanpa masalah. Tinggal di negeri asing, jauh dari kehangatan rumah dan orang-orang yang dikasihi, berkutat dengan budaya pembelajaran yang baru bukanlah kondisi yang nyaman. Merasa tidak berdaya karena tidak bisa berbicara dalam bahasa yang sama dengan orang-orang sekitar juga bukan kondisi yang nyaman. Tapi semua ketidaknyamanan dan kesusahan itu bukan alasan untuk melihat hidup gw tidak layak diperjuangkan. Hidup gw, sama seperti hidup Mandela dan Henley, adalah tetap sebuah hidup yang berharga.

Ada sebuah cuplikan kata-kata dari Paulus, seorang Yahudi yang berbunyi, “Suffering produces perseverance; perseverance, character; character, hope.” Hope. Harapan. Sebuah kata yang indah dan besar maknanya yang tidak dihasilkan dengan membalik telapak tangan. Harapan muncul dari penderitaan yang kemudian memunculkan ketekunan, yang lalu memunculkan karakter tahan uji. Karakter tahan uji itulah yang kemudian memungkinkan manusia untuk melihat harapan. Harapan itulah yang membuat manusia tetap hidup.