Kisah Kabésér di Italia

Oh, tidak ada yang lebih melegakan dibanding dengan buang hajat setelah setengah jam lamanya menahan pipis di tengah udara yang sangat dingin. Inilah kisah gw yang kabésér di Italia. Ohya, sebelum gw lupa “kabésér” itu adalah istilah dalam bahasa Italia untuk menyebut fenomena ‘kebelet pipis’.

 

Gw ingat, beberapa minggu sebelum gw datang ke Italia, gw rajin sekali membaca blog-blog orang yang pernah atau tengah tinggal di Italia. Menurut gw, blog-blog semacam itu lebih jujur menceritakan kehidupan sehari-hari di Italia dibanding dengan brosur-brosur promosi tentang Italia. Salah satu postingan yang menarik adalah ketika salah satu blogger menceritakan tentang langkanya toilet umum di Italia. Gw heran, kenapa ada negara maju yang tidak memikirkan kebutuhan dasar manusia seperti buang hajat. Setelah gw di sini, akhirnya ngerti juga bahwa ternyata orang Italia termasuk jarang minum air. Jadi, mungkin mereka sangat jarang mengalami fenomena kabésér. Sejauh ini, hanya satu toilet umum yang pernah gw kunjungi, yaitu di Autostazione (baca: terminal bis) Cosenza. Sebetulnya, toilet juga terdapat di bar-bar. Hanya saja, itu fasilitas khusus untuk para pelanggan. Kalau punya muka tebel silakan aja melenggang masuk tanpa beli apapun dan langsung masuk toilet. Tapi, kalau sampai ditegur, malu juga kali ya.

Awas diintip!

Gw gak merasa langkanya toilet umum di Italia sebagai sebuah masalah sampai akhirnya gw merasakan sendiri kabésér setengah mati. Hal itu gw alami hari ini, setelah gw dan teman-teman mahasiswa Indonesia menemui bapak-bapak KBRI yang tengah berkunjung di Cosenza. Saat sedang mengantar para tamu penting ini berjalan-jalan di kawasan paling hip di Cosenza—Corso Mazzini, tiba-tiba gw pengen banget buang hajat. Udara yang super dingin bikin keinginan ini tak terperi dan gw gak bisa konsen sama apapun lagi. Gw pun bertanya kanan-kiri, dimana gw bisa menemukan toilet. Seorang teman yang sudah 2 tahun di sini menyarankan gw masuk ke ZARA karena di sana ada toilet. Gw pun segera berlari ke toko yang terkenal dengan barang-barang mahalnya itu. Sampai di sana, gw panik karena gak bisa menemukan toilet sesuai petunjuk teman gw. Gw pun menelpon dengan panik. Teman gw ini sangat yakin bahwa di toko ini ada toilet. Dia menyarankan gw untuk berlagak seperti pengunjung dengan melihat-lihat baju yang sudah pasti gak bisa gw beli ini dan kemudian bertanya dimana toiletnya. Gw mengikuti sarannya dan mulai melihat-lihat baju. Akh, tapi baru mau menyentuh salah satu baju, rasa kabésér ini kembali membuyarkan konsentrasi. Gw langsung terbirit-birit menghampiri kasir, menyela transaksi yang tengah terjadi, dan bertanya: “Mbak, di sini kamar mandinya dimana yak?” Dengan senyum manis, si mbak-mbak kasir pun menjawab: “Aduh, kamar mandinya lagi rusak,cin… Airnya gak keluar. Sorry!” Whaaaaatt?? Rasanya gw ingin teriak. Kemana lagi harus mencariii?? Cuma ada pilihan terakhir, pergi ke bar. Akhirnya, gw praktekkan ilmu menebalkan muka dan melenggang ke toilet. Dengan pede gw masuk ke sebuah bar dan menghiraukan pelayan cantik yang menyapa gw dengan kata “Prego!”, lalu segera menuju pintu bertuliskan: TOILET. Hati gw mau mencelos rasanya setelah membaca tulisan “out of service” di depan pintu kamar mandi. Dengan muka polos, gw menghampiri mbak pelayan cantik itu dan bertanya apakah toilet itu benar-benar rusak. Senyum simpul menghiasi wajah si mbak cantik (yang tidak mendendam karena udah gw kacangin) dan berita baik keluar dari mulutnya: “Enggak kok, pakai aja…”

Program utama: revitalisasi toilet umum!

Haleluyah! Kabésér ini akhirnya terlampiaskan juga. Dan ini adalah salah satu momen terindah gw hari ini. Gw harap, bapak perdana menteri Italia yang baru bisa lebih memperhatikan hajat hidup orang banyak, terutama ketika orang banyak itu mau buang hajat. Huhuhu… Pesan buat teman-teman di Indonesia, tolong ya, toilet umumnya dijaga dan dirawat baik-baik. Yang duduk jangan dipake buat jongkok, yang jongkok jangan didudukin. Long live public toilets!

Invictus (part 2): Big Word Called Hope

Gak bermaksud mengikuti tren part one-part two Harry Potter atau Breaking Dawn, tapi gw merasa perlu mengulas lebih dalam tentang sajak Invictus. Kata-kata dalam sajak ini mengusik pikiran gw saat pulang ke apartemen malam ini. Mungkin bentuk pengendapan setelah obrolan panjang dengan dua orang teman. Dua cerita di balik sajak ini sungguh menginspirasi gw.

 “I am the master of my fate, I am the captain of my soul.”

Oke, gw akan mengulang cerita singkat yang sebetulnya sudah pernah gw bagi di postingan berjudul Invictus. Cerita pertama adalah mengenai William Ernest Henley, seorang pujangga Inggris di akhir 1800an. Ia mengalami tuberculosis tulang pada usia 17 tahun yang menyebabkan ia harus kehilangan salah satu kakinya. Mengalami hal seburuk itu pada usia semuda itu sungguh membuat frustasi. Tentu hal yang pertama muncul dalam ingatannya adalah, betapa suram masa depannya? Bagaimana ia akan beraktivitas? Bagaimana ia akan menemukan istri dan berkeluarga?

William Ernest Henley (1849-1903)

Dalam kondisi seperti itu, wajar bila putus asa menghampiri dia. Lalu, ia kehilangan motivasi hidup dan bahkan berpikir untuk mengakhiri hidup. Itu pilihan yang sangat wajar. Namun, bila itu menjadi pilihan Henley, kita tidak akan pernah mengenal sajak ini. Dan sajak ini tidak akan mempengaruhi hidup orang lain, termasuk hidup seorang tokoh besar abad 20 seperti Nelson Mandela.

Mandela membaca puisi ini saat ia dikurung di sebuah sel kecil di Robben Island. Berapa lama? 18 tahun. Saat melihat kondisi sel penjaranya, gw berpikir, bagaimana seorang manusia bisa bertahan di tempat semacam itu selama 18 tahun. Seseorang yang punya mimpi besar membebaskan sebuah negara dari apartheid. Seorang yang punya mimpi sebesar itu dan harus membuang 18 tahun di sebuah sel kecil, dimana ia hanya boleh menerima satu pengunjung dan satu surat setiap enam bulan. Bagaimana kondisi semacam itu memungkinkan seorang manusia untuk tetap bertahan hidup, atau paling tidak, punya harapan?

Tapi, puisi itu menyelamatkan Mandela. Puisi yang ditulis oleh seorang Henley yang tahu tentang harapan, seseorang yang tahu bahwa hidup tanpa sebelah kaki adalah tetap sebuah hidup yang layak diperjuangkan dan dijalani. Mandela akhirnya tahu bahwa hidup di penjara selama 18 tahun tetap sebuah hidup yang layak dijalani demi tercapainya sebuah mimpi. Dalam film Invictus, diceritakan bagaimana Mandela memakai puisi itu untuk menyemangati tim rugby Afrika Selatan di Piala Dunia 1995.

Puisi Henley ini terus menyentuh hidup orang, termasuk gw. Looking back into my life, hidup gw bukan tanpa masalah. Tinggal di negeri asing, jauh dari kehangatan rumah dan orang-orang yang dikasihi, berkutat dengan budaya pembelajaran yang baru bukanlah kondisi yang nyaman. Merasa tidak berdaya karena tidak bisa berbicara dalam bahasa yang sama dengan orang-orang sekitar juga bukan kondisi yang nyaman. Tapi semua ketidaknyamanan dan kesusahan itu bukan alasan untuk melihat hidup gw tidak layak diperjuangkan. Hidup gw, sama seperti hidup Mandela dan Henley, adalah tetap sebuah hidup yang berharga.

Ada sebuah cuplikan kata-kata dari Paulus, seorang Yahudi yang berbunyi, “Suffering produces perseverance; perseverance, character; character, hope.” Hope. Harapan. Sebuah kata yang indah dan besar maknanya yang tidak dihasilkan dengan membalik telapak tangan. Harapan muncul dari penderitaan yang kemudian memunculkan ketekunan, yang lalu memunculkan karakter tahan uji. Karakter tahan uji itulah yang kemudian memungkinkan manusia untuk melihat harapan. Harapan itulah yang membuat manusia tetap hidup.

Hiding Places #1: Corso Mazzini

Escape. Menurut gw semua orang harus punya tempat untuk sembunyi. Untuk keluar dari rutinitas dan kehidupan sehari-hari. Untuk menghirup udara yang berbeda dari biasanya. Dimanapun gw berada, gw selalu berusaha untuk menemukan tempat persembunyian itu. Biasanya orang mencari kesunyian untuk melarikan diri dari keramaian. Anehnya, gw justru mencari keramaian.

Di akhir postingan gw tentang Roma, gw bilang bahwa suatu hari gw akan merindukan kota itu beserta keramaiannya. Yes, I like quiet places. I like having quiet time. Tapi itu untuk didatangi sewaktu-waktu, bukan untuk habitat. Akhirnya gw harus mengakui bahwa gw anak kota, yang sudah terlanjur terikat dan tergantung pada hiruk-pikuknya. Kota sedamai dan setenang Cosenza ini rasanya bukan tempat gw.

Pohonnya mengingatkan gw akan Minas Tirith.

Paling tidak itu yang gw rasakan setelah hampir dua minggu tinggal di sini. Gw tahu, mungkin beberapa bulan ke depan, gw akan bisa juga beradaptasi dengan lingkungan ini. Mungkin kegalauan ini diakibatkan fisik dan psikis gw masih berkompromi dengan lingkungan sekitar dalam rangka adaptasi. Truly, there’s nothing wrong with this place. This town is so lovely. Apalagi dengan beasiswa yang menanggung tempat tinggal dan makan sehari-hari. But, deep down in my heart, I know, I just know, I need my Rome.

Karena perkuliahan belum berjalan, hari-hari gw berjalan tidak produktif. Kegiatan gw hanya: makan, tidur, dan jalan-jalan supaya tubuh sedikit bergerak. Persis kayak sapi ternak. Ohya, kampus gw terletak di daerah pinggiran Cosenza, yang bernama Rende. Tempat ini lebih sepi dibanding Cosenza yang, menurut warga negara Bekasi seperti gw, sudah tergolong sepi. Jadi, kalau gw mau cari sedikit keramaian, gw harus bergerak mendekat ke pusat kota.

Autostazione Cosenza (baca: terminal bis kota).

Di suatu hari yang… sepi, gw memutuskan untuk naik bis ke arah kota. Bis yang gw naiki dari terminal kampus ini tepat berhenti di Autostazione atau terminal bus Cosenza. Dari Autostazione ini, gw bisa berjalan kaki menyusuri daerah pecinan yang menjual barang-barang dengan harga super miring. Tempat ini salah satu harapan gw kalau mau beli baju murah. Dari pecinan ini, kalau jalan terus, kita akan sampai di daerah kota tua Cosenza atau Cosenza Vecchia. Tapi, bukan di situ tempat persembunyian gw kali ini.

 

Beberapa ratus meter sebelum mencapai Cosenza Vecchia, betapa terkejutnya gw saat menemukan seruas jalan yang suasananya… sangat mirip Roma! Nama jalan ini adalah Via Giuseppe Mazzini. Pendeknya, tempat ini dinamakan Corso Mazzini. Jalan ini membentang kira-kira hampir satu kilometer. Kanan dan kiri jalan ini adalah outlet-outlet dari barang bermerek seperti Zara, Rolex, United Color of Bennetton, MaxMara, dll. Aduh, gw rasanya mau teriak kegirangan ketika lihat keramaian orang yang sedang asyik belanja di tempat ini. Yeay, I found my Rome here!

Salah satu hal yang membuat jalan ini mirip Roma adalah bentuk bangunan dan gang-gang yang naik-turun. Oh, that’s so Rome! Bentuk pertokoan ini juga klasik, beda dengan pertokoan di Cosenza lainnya yang udah bergaya modern. Orang-orang yang lalu lalang dengan membawa tas belanja bertuliskan merek dari barang yang dibeli membuat kota kecil ini berubah jadi kota metropolitan.

 

Kegirangan ini gak ada hubungannya dengan niat belanja anyway. Barang-barang di sini sebagian besar gak terjangkau oleh kantong gw. Tapi, bener deh, gw cuma pengen duduk di salah satu bangku di sini dan menikmati suasananya. Jam 3-5 sore rasanya waktu yang paling tepat berkunjung ke sini karena terik matahari udah mulai terhalang bangunan pertokoan ini. Jadi, gampang cari tempat yang teduh untuk duduk menikmati es krim atau pizza yang harganya 1 euro-an. Yummy!

Pizza murah meriah.

Yang membuat area perbelanjaan ini makin keren adalah Open Air Museum yang terkenal banget di kota ini. Jadi, sambil berjalan-jalan, loe bisa menikmati karya seni kontemporer dari seniman-seniman modern Itali. Salah satunya, adalah patung serigala ini.

Ohya, saat gw berkunjung, di sini sedang ada pameran mobil-mobil klasik. Rasanya mobil-mobil ini sebelumnya cuma bisa gw lihat di film-film tahun 70-an dan sekarang ada di depan mata gw. Banyak juga pengunjung yang datang untuk melihat-lihat mobil-mobil ini dan ngobrol dengan si empunya. Sayangnya bahasa Itali gw masih sangat terbatas. Gak berani buat nanya-nanya. Hehe.

 

Gw merasa, ada semangat yang muncul dengan melihat keramaian ini. Mungkin terdengar aneh. Tapi, setelah menemukan tempat ini, gw merasa lebih betah di Cosenza. Tempat ini seperti membuktikan ke gw bahwa ada kehidupan di kota kecil ini. Yup, I’ll open my pocket and put Corso Mazzini as my hiding place! Dan, dengan tetap semangat, mari kita dengar lagu dari Mbak Adele, Chasing Pavements. I wish you all the best luck in chasing whatever you dream, guys!

Biglietto oh… Biglietto!

Setelah dipikir-pikir—meskipun banyak yang menghujat—penggunaan transportasi di Jakarta itu sederhana ya. Siapapun yang bisa bayar ongkos boleh naik. Yang gak punya ongkos, ngamen aja!Itung-itung nambah penghasilan dan terbebas dari ongkos. Melihat transportasi di kota tempat gw tinggal sekarang, terkadang gw merindukan naik bus di Jakarta.

 

Penampakan bus di Cosenza

Biglietto. Bacanya: bi-li-et-to. Dalam bahasa Italia, ini artinya tiket. Barang ini harus selalu kita bawa tiap kali naik bus, metro, atau kereta. Di Cosenza, gak ada metro dan orang jarang yang pergi naik kereta, jadi yang akan kita bahas sekarang adalah tiket bus. Oke, ada dua jenis biglietto. Pertama, biglietto per 90 minuti. Artinya, kalian harus pergi dan kembali dalam waktu 90 menit. Kedua, biglietto integrato giornaliero. Tiket ini berlaku seharian. Jadi, kalau kalian pergi dalam jangka waktu lama atau gak tau jam berapa akan balik, lebih baik kalian beli tiket ini.

Suasana dalam bus

Nah, kedua jenis tiket ini harus divalidasi saat kita masuk bus pada perjalanan pertama kita. Proses validasi dilakukan di atas bus, pada mesin kotak berwarna oranye yang menempel pada tiang-tiang di dalam bus. Sewaktu-waktu akan ada petugas yang naik di halte tertentu dan memeriksa tiket-tiket ini. Orang yang kedapatan tidak mem-validasi tiketnya akan dikenakan denda sekian euro atau diturunkan dari bus. Kalau gak mau korbanin uang ya korbanin harga diri aja…

Mesin validasi
Si tiket dimasukin ke sini
Tanda tiket yang sudah divalidasi

Ohya, gw udah kasih tahu belum kalau harga kedua tiket ini cukup mahal? Untuk yang 90 menit, harganya 1,20 euro (sekitar 14.400 rupiah). Kalau yang seharian, harganya 3 euro (36.000 rupiah). Lumayan bhooo… Ada dua resiko sebagai akibat dari mahalnya harga tiket ini. Satu, orang jadi males pergi-pergi. Dua, berkembanglah trik-trik untuk berbuat curang. Resiko pertama tidak terjadi. Orang-orang di sini lumayan sering pergi, apalagi kalau kalian lihat daerah pusat kota yang rame terus. Jadi, resiko kedualah yang terjadi. Haha.

Sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang terkenal cerdik, temen-temen mahasiswa Indonesia juga langsung tahu trik-trik untuk mencurangi tiket ini. Kabarnya, trik ini didapat dari mahasiswa Tunisia. Hehe, yang merasa bertanah air dan bertumpah darah Tunisia, jangan marah ya, anggap saja ini hanya kabar burung. Triknya adalah, tidak mem-validasi sama sekali (sampe lihat ada petugas yang mau naik) atau melipat tiket sedemikian rupa sehingga hanya bagian kecil dari ujung tiket yang terkena validasi.

Kalo gak mampu beli tiket, pangku-pangkuan ajah...

Karena gw ingin mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah internasional, gw selalu beli tiket tiap kali mau bepergian naik bus. Gw juga selalu mem-validasi tiket saat naik ke bus, kecuali kalau mesin validasi-nya rusak. Sesederhana apapun yang namanya dosa atau curang itu bikin hati gak tenang. Sedangkan, gw mau menikmati perjalanan dengan tenang, jadi gw memilih koin-koin euro terus berloncatan dari dompet gw dibanding berhadapan dengan resiko gw harus meloncat dari bus. (Okay, yang ini agak lebay…)

Pada hari-hari pertama gw di kota ini, gw gak pernah lihat ada petugas yang naik ke bus untuk periksa tiket. Namun, saat suatu hari kami pulang berbelanja dari Metropolis—satu-satunya mal di Cosenza—momen itu tiba juga. Di sebuah halte, seorang petugas masuk tanpa diduga-duga. Beberapa teman yang belum mem-validasi tiket langsung sibuk memasukkan tiket ke mesin oranye itu. Pucuk dicinta ulam tiba, mesin dekat kami duduk ternyata rusak. Jadilah, si petugas mendapati empat orang teman gw ternyata membawa tiket yang belum divalidasi. Gw hanya bisa menyaksikan mereka diturunkan dan terpaksa jalan ke halte kampus. Untungnya, jaraknya udah dekat.

Yuk, jalan rame-rame...

Ada yang kapok, ada juga yang enggak. Dasar manusia. Transportasi di sini memang jauh lebih mahal jika dibanding tiket Transjakarta yang bisa dipake buat keliling Jakarta sampe muntah. Wajar kalau kami kaget dengan perbandingan harga itu. Tapi, harga itu toh dikembalikan lagi ke kita dalam bentuk jasa transportasi yang berkualitas. Salah satunya, bus yang selalu berangkat on time. Sebagai orang yang udah kenyang dengan transportasi Jakarta, gw sangat menghargai itu. Dan, lagipula Italia ini bagian dari Yurop lho. Come on, guys! Kalau mau yang murah selalu, yuk mari kita ke Poncol aja. So, jadilah warga yang baik dan bayarlah kewajiban Anda! Damai di surga, damai di bumi.

Warga yang baik, taat aturan

Banyak Jalan ke Roma (Irama)

Tadinya gw berpikir ini hanya pepatah lama yang intinya loe harus semangat mengejar impian. Dan betapa excited-nya gw ketika tahu ada lagu Rhoma Irama berjudul “Banyak Jalan ke Roma”. I wonder, darimana Bang Rhoma mendapat inspirasi lagu ini? Apakah dia pernah jalan-jalan ke Roma? Jangan-jangan, dia pernah konser di Roma? Atau, ini hanya permainan kata “rhoma” dan “roma”? Well,  yang pasti post ini bukan tentang jalan Bang Rhoma menuju Roma. Melainkan, ini tentang jalan-jalan gw di kota Roma.

Waktu gw gak banyak di Roma. Hanya sekitar 1,5 hari untuk menjelajah Roma. Gw mendarat hari Rabu dan harus berangkat ke selatan pada Jumat pagi. Technically, I have one full and effective day in Rome. Wow, with so many things? Yes, we can! Seperti yang sudah gw sebutkan di post sebelumnya, gw menginap di Cialdini Inn yang dikelola oleh Madame Elena. Madame Elena ini sungguh baik hati seperti ibu peri. Di hari pertama, beliau sudah memberikan kami nasehat untuk tur singkat di Roma. Berbekal selembar peta yang penuh oret-oretan tangannya, kami menjelajah Roma.

Perjalanan kami dimulai dengan…sarapan! Haha. Cialdini Inn ini adalah sejenis Bed and Breakfast. Karena kami berencana berangkat tidak lebih dari pukul 8, sarapan belum disiapkan oleh Madame Elena. Artinya, kami harus menyiapkannya sendiri. Well, that’s okay since everything we need was in the refrigerator and the cabinet. Dasar perempuan, waktu untuk dandan dan siap-siap ternyata cukup lama. Jadilah kami keluar hotel jam 8 lebih. Tak lupa, kami membeli tiket BIG (Biglietto Integrato Giornaliero) seharga 4 euro di kios koran. Tiket ini bisa digunakan di Metro (kereta subway), bis kota, dan trem. Tiket ini cukup divalidasi saat pertama kali digunakan.

Termini terlihat dari jendela hotel kami.

Kami naik Metro Linea A dari Termini. (Btw, maaf ya gw gak foto kondisi di metro karena situasi gak memungkinkan. Daripada El Fuser berpindah tangan??) Kami berhenti setelah menempuh perjalanan singkat selama 12 menit di stasiun metro Ottaviano. Sasaran pertama kami, Vatikan! Yuhuu… Di sinilah terbangun kemegahan dari Magisterium. Walaupun “isi” Basilica St. Peter sangat artistik, entah mengapa, gw lebih terpana melihat bangunan ini dari luarnya.

 

Selepas berjalan-jalan di Vatikan, kami lapar. Kami memutuskan untuk memilih salah satu dari sederetan restoran lokal yang menawarkan menu khusus turis di dekat Vatican. Dan, pilihan kami jatuh pada Trattoria Marcella! Dengan 8 euro, gw bisa menikmati satu pizza ukuran medium (yang harus gw habiskan sendiri) dan sekaleng Coca-Cola. Gw memilih pizza Margheritta. Enak, tapi perlu perjuangan untuk menghabiskannya. Bener-bener blenger.

Selepas makan, kami penasaran dengan Prati. Prati, menurut panduan turis seperti Lonely Planet yang gw kantongi, merupakan pasar lokal dengan kios-kios yang menjual beraneka barang dengan harga miring. Menurut peta, Prati terletak tak jauh dari Vatikan. Tapi, setelah kami keluar masuk gang, Prati tidak berhasil kami temukan. Hari makin siang dan kami harus bergerak. Akhirnya, dari Piazza Risorgimento, kami naik bis ke Colloseo.

Here you are… Colloseo. Bangunan yang pada hari pertama membuat gw takjub saat melewatinya. Anyway, tiket masuk ke bangunan kolosal ini cukup mahal: 12 euro! Gw agak meringis waktu mengeluarkan uang dari dompet. Mau ngeliat tumpukan batu doang 12 euro?? Yah, begitu  pikiran gw. Tapi ya begitulah kota ini mendapat pemasukannya, yaitu dari kantong turis. Mengingat tumpukan batu ini dikerjakan dengan susah payah selama 12 tahun dan mengandung nilai sejarah tinggi—dan untuk menghargai usaha pemerintah kota Roma untuk memeliharanya—akhirnya gw iklas juga.

Udah mahal... ngantri pulak!

Satu hal yang menarik perhatian gw ketika memasuki Colloseo adalah tanda salib besar yang terpampang menghadap arena gladiator. Konon, Colloseo digunakan oleh Kaisar Romawi untuk menghabisi orang-orang Kristen di kota ini. Ironis rasanya melihat palang salib besar ini. Namun, dari sebuah papan informasi yang gw baca, kabar tentang penganiayaan orang Kristen di Colloseo itu belum bisa diverifikasi karena tidak ada bukti sejarah yang memadai. Jadi, itu hanya rumor belaka. But, who knows?

Kami harus melanjutkan perjalanan di tengah Roma yang terik ini. Tujuan berikutnya adalah Trevi Fountain yang terkenal itu. Banyak orang datang untuk melemparkan koin di kolam ini dengan harapan akan kembali ke Roma suatu saat di masa depan. Sayangnya, menemukan Trevi penuh dengan perjuangan. Dari pemberhentian metro terdekat, yaitu Barberini, sama sekali tidak ada tanda-tanda tentang Trevi. Kami harus berjalan bolak-balik, turun naik jalan-jalan kecil khas Roma sampai akhirnya dapat keterangan dari seorang ibu penjaga galeri di Piazza Barberini. Sampai di Trevi, wuaah, puluhan (mungkin ratusan) orang sudah berkumpul di sana. Heran deh, ini hanya air mancur biasa, tapi inilah keajaiban Roma, the eternal city.

Ada yang dilamar... *ngiri*

Pulangnya, kami melewati terowongan bising yang bisa langsung tembus ke Via Nazionale. Gw cukup suka Via Nazionale. Jalan panjang ini dipenuhi dengan toko-toko. Untuk turis atau pendatang baru di Italia, hampir semua kebutuhan bisa didapat di jalan panjang ini. Mau beli buku, makan, beli baju, sampai SIM card ada di sini.

Sesampainya di daerah Termini, kami penasaran dengan phone center yang menjamur di sana. Kata Pak Wawan dari KBRI, kalau mau telpon ke Indonesia dari sini cukup murah. Dan benar saja, hanya 15 sen/menit lho! Sayangnya, ini udah jam 12 malam di Jakarta jadi gak memungkinkan untuk nelpon Mummy-Daddy di rumah. So, nelpon Bebeb Gael aja deh. Untungnya doi masi bangun dan kami ngobrol selama 6 menit. Lumayan, cuma habis 1,60 euro! Super murah.

Our last stop is Giuseppe’s restaurant. Kami dapat rekomendasi dari Madame Elena. Katanya, kalau sebut-sebut nama beliau, kami bisa dapat harga lokal, bukan harga turis. Dan, katanya makanan di sini enak. Yah, enak sih enak, di kantong juga lumayan lah, tapiii… porsinya itu. Hahaha. Di tempat ini, kami baru merasakan betapa orang Italia itu makannya banyak banget. Oh, God, they have no mercy on feeding people. Dari yang anggun sampai yang pake dasi, makannya kayak kuli! Oke, bisa dibilang kami kapok. Tapi, restoran Giuseppe ini patut dicoba, tapi jangan pilih terlalu banyak menu.

 

Prima piatti: Spaghetti alla Carbonara
Secondo piatti: Grilled chicken breast
Extra: Salad!

Well, we’re done for this time with Rome. Kami harus bersiap untuk berangkat pagi-pagi sekali keesokan harinya. Kami meninggalkan Roma begitu saja. Tanpa tahu betapa kami akan sangat merindukan kota ini di hari-hari berikutnya. Baiklah, gw tutup post ini dengan lirik lagu dari Bang Rhoma yang pastinya udah bikin kalian penasaran sejak awal. Semoga lagu ini bisa menyemangati kalian yang sedang mengejar impian, dan tentunya, menyemangati kami untuk kembali ke Roma. Ciao!

Rhoma Irama-Banyak Jalan ke Roma

Banyak jalan menuju roma
Banyak jalan menuju roma
Bila engkau gagal di dalam satu cara
Cari lagi cara lainnya
‘Pabila dirimu tidak mengenal lelah
Satu masa tercapai jua

Tuhan tidak akan merubah nasibmu
Kalau kamu tidak mau merubahnya
Bukankah pepatah telah mengatakan
Ada kemauan pasti ada jalan
Siapa mau jaya harus rajin bekerja
Siapa mau jaya janganlah putus asa

Banyak jalan menuju Roma 

Ada Kebaikan di Roma

Hemm, gimana ya rasanya mendarat di kota yang berjarak 14,4 jam dari rumah? Gimana ya rasanya menjejakkan kaki di kota yang ribuan tahun lalu pernah jadi pusat peradaban dunia. Sambil nulis post ini, gw masih cubit-cubitin tangan dan bilang: where the heck am I?

Banyak yang bilang Roma bukan kota terbaik di Eropa. Dari segi keamanan sampai kenyamanan berlalu-lintas. Tapi, bukan berarti itu semua jadi penghalang bagi gw untuk melihat dan menikmati kebaikan-kebaikan saat pertama kali menjejakkan kaki di kota penuh keabadian ini.

Kebaikan pertama adalah mendapat mini bus murah (15 euro/orang) yang mengantarkan gw dan 12 orang lainnya dari Fiumicino Airport langsung ke KBRI. Dihitung-hitung, jauh lebih murah dibanding rencana awal kami yang mau naik kereta Leonardo Express (14 euro/tiket) dan nyambung naik bis dari Termini. Lebih mahal satu euro memang, tapi tolong perhitungkan “biaya” mengangkat koper super berat bagi wanita-wanita malang seperti gw ini. Well, this is what I call: best buy!

Perjalanan dengan mobil ini cukup lancar, walaupun sempat padat juga di ruas jalan tertentu, tapi gw menikmati sightseeing-nya kok. Kami dipertontonkan pemandangan Roma yang penuh dengan peninggalan kejayaan Romawi di berbagai sudutnya. Dan, apa itu? Tiba-tiba mata gw tertuju pada seonggok bangunan besar yang dilewati mobil kami. Colloseo! Ya Tuhan, gw hampir mau sujud syukur pas lihat bangunan ini.

Kebaikan kedua adalah sambutan yang sangat ramah di KBRI. Keperluan lapor diri kami langsung ditangani dengan cepat. Staf-stafnya juga terlihat senang sekali dengan kedatangan 14 WNI yang mau menuntut ilmu di negeri ini. Dan, the best part is… kami difasilitasi dengan dua mobil yang mengantar kami ke Termini. Bahkan, ada staf yang membantu membelikan tiket menuju Paola karena teman-teman banyak yang belum beli tiket.

Ini bagian lanjutan dari kebaikan kedua. Karena kami bertiga (gw, Matey Doppelganger, dan Miss Valentina) tinggal dulu selama 2 hari di Roma, kami meminta tolong bapak supir dari KBRI—Pak Wawan untuk mengantar kami beserta koper-koper kami ke tempat kami menginap di Cialdini Inn B&B. Letak Cialdini ini sangat dekat dari stasiun utama Roma Termini, jadi kami pikir tidak akan terlalu merepotkan.

And u know what?? Pak Wawan baik bangeet. Dia gak hanya mengantar tapi juga mendampingi kami dan bantu angkut-angkut koper. Hehe. Karena kamar kami masih  perlu dibersihin, Pak Wawan ngajak kami keliling sebentar daerah Termini. Dia gak lupa memberikan tips tentang bepergian aman di kota penuh copet ini. (Pak Wawan bilang ada Sekolah Copet di sini.. hiii) Ugh, Pak Wawan so gentleman dan kece sekali ya!

Kami diturunkan di Via Nazionale, gak jauh dari counter TIM, salah satu operator hape di Itali. Menurut Pak Wawan, kebanyakan orang Itali pakai operator ini. Dan inilah kebaikan ketiga! Sampai di counter itu, kami bertemu dengan mas-mas penjaga counter (sebut saja Paolo-bukan nama sebenarnya) yang baik dan sabar sekali menghadapi pertanyaan tiga imigran yang tidak ingin terjerat tarif roaming internasional ini.

Ohya, kami dapat paket cukup murah nih, teman-teman. Dengan 9 euro/bulan, kami dapat 1.000 SMS ke semua operator dan unlimited data untuk internet. SMS ke Indonesia juga lumayan murah, sekitar 50 sen/SMS. Kalau nelpon mungkin agak mahal ya, sekitar 2 euro/menit. Tapi paket ini cukup lah untuk gw. Akhirnya, kami bertiga ambil aja tawaran menarik dari Mas Paolo ini.

Setelah “isi bensin” di Burger King, kami jalan sekitar 3 km dari Via Nazionale untuk kembali ke Cialdini. Sepanjang jalan kami window shopping, ngeliatin toko-toko baju bermerek yang jadi mahal banget kalo dijual di Jakarta. Naksir ini, naksir itu, tapi berusaha mengingat kembali status kami sebagai mahasiswa negara dunia ketiga yang hidupnya sedang ditanggung oleh negara yang terancam krisis dan baru saja memotong anggaran untuk dana pensiun ini. So, tutup mata aja deh kalo ngeliat jaket atau tas super kece.

Sampai di hotel, gw dan Miss Valentina berusaha mencari si Signora yang tadi bersihin kamar kami untuk bayar biaya kamar –fyi, kami dapat harga 72 euro/orang untuk dua malam (udah termasuk sarapan, internet access, dan konsultasi tur gratis.. haha). Tapi ternyata, usaha pencarian Signora ini cukup susah. Kami harus turun naik tangga (baca: bohong deng, padahal naik lift) yang melelahkan.

Nah, ketemu juga akhirnya si Signora! Ohya, doi gak mau dipanggil Signora ternyata. Elena aja, katanya. Pertemuan dengan Elena ini menutup hari ini dengan kebaikan keempat dimana dia dengan excited mengatur tur kami selama dua hari ini. Dia insist karena dia bilang ini  pengalaman pertama kami di Roma. Penjelasan ini diselingi dengan pelajaran bahasa singkat sekaligus tawa ngakak saat dia mengira gw mau jalan kaki dari Termini ke Vatican. “Imposible… You cross the Rome! If only you had a month. Hahaha…” Coba kalian lihat deh mukanya Elena pas ngetawain gw. Puas banget kayaknya.

Oh, how I enjoyed my first day in Rome. Seorang pernah berkata pada gw, “Terkadang ketika sedang berada di luar negeri, Tuhan mengizinkan kita menikmati rasanya mendapat pertolongan dari orang asing.” Huhuhu… Sekarang gw merasakan sendiri kata-kata itu. Tidak hanya satu, melainkan empat! Do pray God’s presence will help me experience all the good and bad that Italy will bring to me. Ci vediamo dopo, amici!

Where Am I Going?

Was just singing and asking myself all the words on this song… It’s D-2 Day anyway.

Where are you going? 
With your long face pulling down 
Don’t hide away, like an ocean 
That you can’t see but you can smell 
And the sound of the waves crash down 

I am no Superman 
I have no reasons for you 
I am no hero, oh that’s for sure 
But I do know one thing… that’s where you are is where I belong 
I do know where you go is where I want to be 

Where are you going? 
Where do you go? 

Are you looking for answers to questions under the stars? 
Well, if along the way, you are grown weary 
You can rest with me until a brighter day and you’re okay 

I am no Superman 
I have no answers for you 
I am no hero, oh that’s for sure 
But I do know one thing… that’s where you are is where I belong 
I do know where you go is where I want to be 

Where are you going? 
Where do you go? 

Where do you go? 
Where are you going? 

Where do you go? 

I am no Superman 
I have no answers for you 
I am no hero, oh that’s for sure 
But I do know one thing… that’s where you are is where I belong 
I do know where you go is where I want to be 

Where are you going? 
Where do you go? 
Tell me, where are you going? 
Where? Well, let’s go

Something Holding You Back

Mau tahu apa kata-kata yang belakangan ini gw ketik di Google? Packing list. Minimalist packing list. 23-kg packing list. Yang terakhir: how to pack your life into 23 kg. Hahaha, I’m pathetic.

Size does matter!

Berdasarkan kebijakan dari maskapai yang akan gw naiki menuju negeri Berlusconi, koper gw hanya boleh mengangkut beban seberat 23 kg. Dan, gw frustasi dibuatnya. Gw heran kenapa gw merasa hal ini mustahil. Barusan gw nonton film-nya George Clooney, “Up in the Air” dimana dia bermain sebagai karyawan yang kerjanya tiap hari terbang ke berbagai kantor cabang. Bayangkan, dia cuma punya 43 hari di darat, dalam satu tahun! Gw aja sampe bengong ngeliat betapa gampangnya dia packing. Plung, plung, plung, semua benda masuk dan… kopernya terlihat ringan. Damn, it’s so not real!

So easy to pack?

Dear God, what is wrong with me? Kenapa hal ini sangat sulit? Kenapa koper gw yang kosong ini tampak seperti beratnya udah 5 kg? Dalam sebuah packing list yang gw download, tertulis bahwa gw hanya boleh bawa 10 kaos dan blus kalau mau hemat beban. Oke, gw coba. And, you know what? I was stuck on 15! Itu sebelum gw buka laci terakhir dan menemukan baju gw lainnya. Dear God… Dear God… Gak terhitung berapa banyak packing list yang udah gw lihat dan masih belum menemukan jalan keluar. Percaya deh, gw juga udah bikin packing list sendiri, tapi setelah list itu selesai gw buat, segera saja gw tinggalkan. Dan ketika keresahan mulai melanda lagi, gw akan mulai membuat packing list baru. Gilak, kapan selesainyaaa…???

Setelah gw merenungi secara mendalam kenapa packing untuk sekolah selama dua tahun jadi hal yang sulit, gw mulai dapat jawabannya. Logikanya, itu hidup gw, bung! Secara psikologis, gw merasa gak rela untuk pergi dari zona nyaman kehidupan gw. Jadi, gw ingin membawa zona nyaman itu bersama gw dan berusaha untuk mengemasnya di koper gw. Itulah yang membuatnya mustahil. Gw merasa kehidupan gw selama hampir seperempat abad ini harus gw masukkan dalam koper seberat 23 kg supaya gw bisa memindahkan “istana” gw di tanah yang baru. Itu yang membuatnya mustahil! Bukannya berpikir untuk memasukkan hanya hal-hal yang gw butuh, gw malah mencoba menjejalkan semua hal yang membuat gw nyaman. Ini bagai melukis di atas awan, atau menjaring angin.

Pikiran ini mengingatkan gw pada kata-kata seorang yang gw kenal sangat bijak. Nama beliau Pak Wit. Beliau pemimpin redaksi di media tempat gw mengabdi selama 2,5 tahun. Tapi, lebih dari sekedar bos, beliau juga inspirasi buat gw. Suatu hari, beliau mengajak gw berbagi pengalaman jurnalistik di sebuah SMA. Saat itu, beliau mengatakan satu hal yang menyentak pikiran gw. Kira-kira begini kalimat beliau, “Menjadi wartawan sejati artinya tidak terikat pada sesuatu. Kalian harus bisa survive dimanapun kalian berada. Kalian harus bisa masuk ke lingkungan mana saja. Kalian tidak boleh sayang sama nasi. Kalau di tempat kalian berada, makanan yang ada hanya ular, ya kalian harus bisa makan ular!” Kata-kata beliau ini langsung disambut gelak tawa oleh siswa-siswi SMA yang mendengarnya. But, I was stunned that time.

Kata-kata itu sungguh amat benar. Inti yang gw dapat, jika kita terikat dan tidak bisa hidup tanpa sesuatu, that something will just hold you back. Kita gak akan bisa maju. Gw rasa mungkin itu alasannya gw gak pernah dikasih hewan peliharaan. Berkali-kali punya, tapi pasti ada halangannya. Kalau lihat temen-temen yang punya kucing atau anjing, gw suka iri. Tapi, dalam hal ini, gw merasa beruntung. Begitu pula soal makanan. Saat ngobrol dengan beberapa temen yang pernah kuliah di luar, ada yang cerita bahwa dia heboh bawa kecap, sambel botol, abon, sampai mie instan dalam jumlah besar. Gw sempat mau melakukan itu juga. Namun, setelah gw berkontemplasi dan merenung, those are the things that hold you back too. Mungkin benda-benda itu akan mengobati rasa rindu saat kita sakau masakan Indonesia, tapi terima aja deh, memang itu kan pahitnya hidup di negeri orang!

This cutie's definitely holding you back.

Begitu pula soal keterikatan dengan manusia seperti keluarga, sahabat, pacar, suami/istri, dan bahkan anak. [Memang sih dua yang terakhir itu akan sangat sulit karena kita punya tanggung jawab luar biasa atas keduanya. Gw belum punya keduanya, dan hal ini cukup memudahkan.] Inilah mengapa gw risih sama pertanyaan yang belakangan mampir di telinga gw dari orang-orang yang tahu bahwa gw akan studi di luar. “Terus, Bebeb Gael gimana dong?” Gw sangat bingung menjawab pertanyaan ini. Gimana? Apanya yang gimana? Emang harusnya gw gimana? Gw kecewa ketika orang-orang ini memandang Bebeb Gael sebagai pribadi atau makhluk yang ‘holding me back’, bukan sebagai pribadi yang sangat suportif terhadap langkah besar yang tengah gw ambil. Well, kalau mau tahu, he’s my biggest supporter! Kami sama-sama berdoa untuk studi lanjut gw ini lho, sejak dua tahun lalu. Jadi, ketika akhirnya gw dapat kesempatan, ini bukan hanya jawaban doa bagi gw, tetapi jawaban doa buat Bebeb Gael juga. Jadi, kawan-kawan, si Bebeb Gael gak musti diapa-apain ya. I just have to survive there, and he just has to survive here. That’s it. And, we’re still going to have each other and making our best efforts to keep it that way!

Setelah mengingat kembali kata-kata Pak Wit, gw meninjau kembali daftar bawaan gw. Barang-barang yang gak terlalu penting, mendesak, dan masih bisa gw temukan di sana, langsung gw coret dari daftar. Pack light! Itu dia tips yang hampir selalu gw temukan di berbagai blog dan web tentang travelling. Gw harus bisa bertahan dimana saja dan dalam situasi apapun, dengan atau tanpa hal-hal yang selama ini menyamankan hidup gw. Dengan begitu gw bisa menjadi wartawan sejati, atau pengelana sejati, atau paling tidak seseorang yang bekerja keras mencapai visi dan mimpi. Godspeed!

New gear I just bought.

NB: Buat kalian yang berharap gw berbagi tips untuk packing, sorry to make you dissapointed. Maybe I’ll write in the next post when I figure it out! Haha.

Meeting Marjolein

Pada Selasa (16/8) lalu, sehari sebelum hari kemerdekaan negara gw tercinta ini, gw ikut sebuah kamp. Semacam youth camp gt, yang jadi ritual tiap tahun sejak gw masih kuliah. Kamp semacam ini jadi re-treat buat gw, untuk menenangkan diri, untuk berpikir, untuk berdoa, dan of course, meeting people!

Seharusnya gw berangkat bareng beberapa teman dengan mobil panitia jam 12 siang di Depok. Tapi entah mengapa, I feel like going alone. Sejak gw keluar rumah, gw mikir kayaknya seru juga kalo gw pergi sendiri, dg backpack yang super berat ini, naik bis ke arah Sukabumi. Adventurous! Dan, rencana gw direstui Tuhan. Sesampai di Ps. Rebo, setelah nunggu skitar 15 menit, ada bis menuju Sukabumi. Sayang sekali gw nggak memperhatikan nama bisnya. Yang pasti bukan Langgeng Jaya atau Maya Raya.

 

Begitu masuk, gw minta izin naruh backpack di depan sama Pak Supir. Pak Supir menyuruh gw cari tempat duduk di belakang, katanya masih banyak yang kosong. Thank God memang ada. Di barisan tak jauh dari depan, mata gw langsung nyangkut pada seorang cewek asing (baca: bule) yang duduk bersama backpack-nya yang jauh lebih gede dari punya gw. Dia cantik, rambutnya coklat terang, kelihatannya berumur sekitar 24 tahun, dan raut mukanya sangat ramah. Wah, daripada gw duduk bareng mas-mas tengil, gw milih duduk di sebelah dia.

 

Si cewek itu tersenyum dengan ramah saat gw duduk. Dia langsung narik backpack-nya untuk memberi gw ruang untuk duduk. “Eh, maaf, loe gak kesempitan kan?” begitu dia tanya. Dengan ramah, gw jawab, “Gapapa kok, santai aja…” Terus gw beranikan diri untuk bertanya, “Emm… loe mau pergi kemana emangnya?” Dia menjawab: Cimaja.

This is Cimaja! Awesome...

Apah?? Cimaja? Where the heck is that? Kok bisa bule kayak dia tau Cimaja sementara gw yang orang Indonesia aseli gak tau Cimaja?? Apalagi dia bilang dia ke sana buat surfing. Hah? Ada ya? Wah, gw mulai kagum sama cewek ini. Gak lama kemudian, dia bertanya lagi, apa dia berada di bis yang benar, dan apakah ini jalan tercepat menuju Cimaja. Dengan sopan, gw bilang gw gak tahu Cimaja, tapi akan gw tanyain ke si kenek.

 

Berhubung si kenek gak nongol-nongol, gw nanya sama bapak2 sekitar gw yang sepertinya dari tadi sudah memperhatikan si bule cantik ini. Dengan antusias, tiga orang bapak2 langsung menjawab pertanyaan gw. “Turun di Ciawi, neng…”, kata satu orang. “Atau Cibadak juga bisa, nanti naik bis MGI…”, ucap yang lain lagi. “Biar dia bareng saya aja nanti, neng, saya juga turun Cibadak…”, aih bisa aja nih bapak.

Bus yg harus dinaiki Mbakyu Marjo dr Cibadak...

Akhirnya, gw jelasin kalau dia harus turun Cibadak trus naik bis MGI warna biru yang ber-AC (gak kayak bis yang gw naikin ini), jurusan Sukabumi-Pangandaran. Dari raut mukanya, dia mengangguk-angguk seolah-olah udah pernah mendengar penjelasan itu. Dia bilang terima kasih dan nanya kenapa bahasa Inggris gw bagus. Ehemm… Yah, gimana gak bagus, kan zaman bocah udah dicekokin Inggris dari SD. Dia angguk-angguk kepala tanda kagum, padahal gw dalam hati yang heran berat kenapa bisa ada makhluk kayak dia di bis antah berantah jurusan Sukabumi ini.

 

So, sepanjang perjalanan akhirnya kami ngobrol. Dia dari Holland, namanya Marjolein (baca: mar-yo-len). Dia dokter gigi, baru kerja selama tiga tahun. Karena ini Ramadhan dan pasiennya banyak yang muslim, dan pasien muslim ini jarang cek gigi selama Ramadhan, jadi dia mutusin untuk jalan-jalan selama 4 minggu. Whooot?? Itu kan sebulan. How come loe bisa cuti sebulan sementara kita para buruh Indonesia ini paling banter bisa cuti 12 hari?? *Ngiri abis*

 

Si Marjolein ini tadinya gak berencana ke Indonesia, karena tahun lalu dia udah jalan-jalan di Jawa, Bali, Lombok. Dia mendarat di Filipina awalnya, tapi ternyata di sana hujan terus selama 5 hari. Dan, dari prakiraan cuaca (apa kabar ya prakiraan cuaca TVRI?), hujan masih akan turun sampe 10 hari ke depan. Jadi, dia mutusin untuk pergi ke Sumatera, tepatnya ke Pulau Weh dan Medan.

 

Kami jadi asyik ngobrolin Danau Toba. Menurut gw, Danau Toba dan Pulau Samosir adalah tempat paling keren di Indonesia yang pernah gw kunjungi. Sepi, dingin, dan pemandangan airnya itu lhoo… Gak nahan. Si Marjolein juga berpendapat sama. Amazing, gitu katanya. Wah, jadi pengen ke Samosir lagi.. Khukhukhu…

 

Ohya, gw penasaran berat lho, dimana dia nginep dan dapat begitu banyak informasi tentang daerah-daerah di Indonesia. Apalagi, dia bilang kalo selama di Jakarta, dia itu nginep di rumah temen cewek yang baru dia temui di Pulau Weh. Ya, kayak gw ketemu dia di bis Sukabumi ini. Wow… Wow… Wow… Usut punya usut, rahasianya dia adalah.. Lonely Planet! Sepanjang perjalanan gw emang liat dia megang terus tuh buku Lonely Planet yang tebel abis. Terus, dia juga bilang forum-forum Lonely Planet itu membantu perjalanannya banget. Terutama buat backpacker kayak dia yang hobi wisata dengan biaya seminimal mungkin.

 

Ohmaigat, I’m so curious about backpacking and I wanna so it someday. Begitu gw bilang ke dia. Dan dia bilang, yes, you can should! Huwaa.. Yaudah gw cerita aja kalo bulan depan gw akan ke Itali untuk studi S2 dan pengen banget keliling Yurop dengan cara backpacking supaya murah. Dia cerita kalo di Yurop kemana-mana emang jadi mahal sekarang. Dulu, anak-anak muda bisa keliling Yurop naik kereta dengan murah. Tapi, sekarang? With Eurostar and all  other kinds of luxurious trains, jangan harap!

 

Marjolein bilang, itulah kenapa anak muda Yurop kayak dia sekarang lebih suka pergi ke Asia. Karena, biaya berwisata ke Asia selama sebulan bisa disamakan dengan biaya tinggal di Eropa selama seminggu. Huhu… Trus gimana dong, Pakde, Bude?? Tapi, tenang aja, kata Marjo. Walaupun naik kereta mahal, tapi pesawat sekarang banyak yang murah. Iya, betul, tiket Roma-Amsterdam aja ada yang 30-an euro. Asiik… Lebih asik-nya lagi nih, Marjo nawarin gw untuk nginep di tempatnya dia kalo gw bkunjung ke Amsterdam. Wiiih… mau dong, Marjooo!

 

Hemm.. Singkat cerita, gw dan Marjo bertukar alamat email supaya nantinya kami bisa bertukar kabar. Oh, it was very nice meeting her. Dan gw sangat bersyukur dengan perjalanan ini. Dari dia gw dapat beberapa inspirasi mengenai bepergian ke negara asing, seperti yang akan gw jalani sebulan ke depan. Ini dia tips yang gw simpulkan sepanjang obrolan dengan Marjo:

(1)    Always smile. A smile won’t hurt you. Gw memberanikan diri untuk ngobrol sama Marjo karena dia yang terlebih dulu kasih senyum ramah ke gw. Di sebuah negara yang asing, loe bakal butuh banyak bantuan warga lokal. Jadi, jangan sombong dan usahakan untuk selalu kontak mata dan senyum ke orang-orang yang loe temui. Keramahan senyum loe akan membuat mereka willing to help.

(2)    Talk with local people. Jangan males mulai pembicaraan atau ngajak ngomong warga lokal. Itu akan  menambah pengetahuan loe dan membantu loe dalam banyak hal. Jangan takut kalo bahasa Inggris loe (atau bahasa Italia loe.. hiks) terbatas. Mereka akan paham kok.

(3)    Do some research. Know something. Backpacking bukan berarti buta terhadap tempat yang mau loe kunjungi. Loe tetep harus riset kecil-kecilan tentang daerah tujuan loe. Seperti Marjo misalnya, keep your Lonely Planet guidebook handy! Atau, talk to someone that’s ever been there. Atau, cari warga lokal untuk bisa dapet info transportasi termurah atau jalan-jalan alternatif, atau sekedar memastikan bahwa loe berada di rute yang tepat.

(4)    Be brave. Just be brave. Itu yang gw lihat dari sosok Marjolein. Dia muda dan berani berada di tempat yang sangat jauh dari negara asalnya, yang warga lokalnya—terutama lelakinya—suka memberi perhatian berlebih sama turis asing, yang transportasinya sangat tidak ramah pendatang. Tapi dia sangat tenang, gak panikan walaupun mungkin dia gak tahu mau kemana. She’s sooo… wow! Gw jadi malu. Selama perjalanan gw dari Bekasi-Sukabumi ini aja, gw udah berkali-kali nelpon dan ditelpon sama Bebeb Gael yang takut gw kesasar. Oh, Marjolein, you’re such an inspiration…

Buat kalian yang penasaran sama bentuknya Marjolein, gw sempet (menebalkan muka untuk) mengambil foto dia. And here you are, my gorgeous Marjolein…

Smiley Marjo. Oh, love her smile!

PS: Marjolein lagi belajar fotografi so dia share website fotografi-nya.. Silakan mampir ke www.marjoleinblom.com kalau mau lihat-lihat karyanya!